Senin, 26 Maret 2012

semua anak berHAK untuk belajar !!!

SUNGGUH SEMUA ANAK MAU BELAJAR !!! Judul di atas benar-benar tidak mengada-ada. Saya sering katakan: demi Allah semua anak mau belajar! Asal metodenya tepat, ketahuilah semua anak mau belajar.Buktinya semua bayi ketika merangkak menyentuh semua yang bisa mereka sentuh. Mereka mengeplorasi dan meneliti benda-benda di sekitarnya: colokan listrik, bola, karet, jari ibunya, pasir, tanah, daun, sendal. Kadang mereka sentuh-sentuh, geser, geser, angkat, remas, bahkan dimasukkan ke mulit, meski sendal sekalipun. Ketika mereka mulai bicara, mereka banyak bertanyak kepada orangtuanya. Saking antusiasnya belajar, bahkan sebagian orangtua kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan anak ini. Pernah kan mengalami kejadian sejenis ini ketika saat Anda di dapur? "Lagi ngapain Ma?" "Masak nak.. " "Masak apa?" "Sayur asem... " "Kayak gimana sayur asem itu Ma?" "Ya rasanya asem... " "Kenapa bisa asem rasanya?" "Kan dikasi asem... " "Bumbunya apa aja Ma?" "Banyaaak" "Iyaaa.... banyak itu apa aja?" "Ada asem. garam, bawang merah, terasi, lengkuas... " "Lengkuas itu apa?" "Apa ya.. yang kayak gini.... " "Rasanya gimana Ma?" "Ihhh tanya, tanyaa terus. Sana... sana!" Hahay... ternyata orangtua sendiri yang menghentikkan gairah anak belajar! Coba pikirkan dan coba ingat-ingat kembali, berapa lama kita tahan ditanya-tanya anak? Kalau Anda perhatikan kiri kanan Anda, saat orangtua ditanya anak, sebagian besar orangtua tahan ditanya sama anak hanya sampai 3 pertanyaan! Padahal, ketika anak bertanya, itu tanda anak curious... alias penasaran. Penasaran adalah ekspresi dari rasa keingintahuan. Keinginantahuan adalah modal besar dari belajar. Keingintahuan adalah modal sejati dari belajar yang sebenarnya. Maksudnya yang membuat anak benar-benar mau belajar secara alamiah ya karena keingtahuan ini bukan ujian nasional, bukan disuruh orangtua, bukan pula karena ada PR. Bahkan tahukah Anda, karena bumbu keingintahuan inilah seseorang bisa beragama dan mengaplikasikan keberagamaannya dengan benar. Maksud saya, sebagian orang beragama menjadi tidak sebenarnya karna beragamanya hanya karena keturunan bukan karena ilmu. Beragama karena ilmu adalah beragama yang didasari atas kebutuhan eksistensi manusia akan makna-makna uqdotul kubro: where i came from? who i am? what i have to do with my life? where i'll going after this life? Karena penasaran inilah pula Nabi Ibrahim menemukan makna ketuhanannya seperti diceritakan dalam Al-Qur'an. Nabi Ibrahamim meyakini bahwa sesuatu pasti ada yang menciptakan. Beliau sangat penasaran, siapakah gerangan yang menciptakan, darimaman kehidupan berasal dan darimanakah dirinya berasal: where i came from? Lalu beliau menerka-nerka dengan pikiran sederhananya: pasti ada sesuatu yang luar biasa yang menciptakan semua kehidupan. Ketika melihat bintang beliau berkata "qul haadza robbi, pasti ini Tuhanku." Dan ahaaa ternyata berganti siang bintang itu hilang, maka Ibrahim yang penasaran ini pun kecewa "La uhibbu anil afiilin, aku tidak suka dengan yang tenggelam" dan seterusnya diterka satu-satu, matahari, bulan dst. Soal ketuhanan, sehebat apapun akal manusia ada yang tidak bisa dicerna, tentang Dzat-Nya misalnya. Karena Allah Maha Rahman dan Rahim maka Allah memberi petunjuk tentang pertanyaan-pertanyaan Ibrahim tadi, sebab jika hanya mengandalkan akal, mungkin tidak akan pernah sampai. Namun demikian, dari akal lah juga bermula tentang makna-makan ketuhanan itu sendiri. Mari kembali lagi soal bahwa semua anak memiliki modal besar dari belajar ini yaitu penasaran. Kenyataannya, seperti kejadian yagn saya ceritakan di awal, sebagian penasaran tadi justru dimatikan orangtua d irumah. Riset Gordon Stock membuktikan bahwa sebagian besar anak mengalami kesulitan belajar dan akhirnya malas belajar karena merasa stress saat belajar. Dan tahukah Anda siapa yang membuat stress belajar? Urutan pertama orangtua dan urutan kedua sekolah! Dua lembaga yang justru diberikan kewenangan dalam mendidik generasi. Tentu saja kita bukan orang malaikat. Adakalanya kita pun lagi pusing, kita lagi terburu-buru, kita lagi banyak urusan, atau karena kita tidak tahu semua jawaban yang ditanyakan anak, kita tak bisa menjawab semua pertanyaan anak. Semua itu wajar. Tapi sungguh kita tak berhak untuk mematikan penasaran anak. Sekali lagi rumusunya: KITA BOLEH MERASA TERGANGGU OLEH ANAK, TAPI KITA TAK BERHAK SAMA SEKALI MEMATIKAN PENASARAN ANAK. Ketika penasaran anak mati, sejak saat itulah potensi belajar anak (yang sebenarnya) mati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar